"Saya harus cari uang, biar tetap bisa sekolah terus." ~ucap Pani sambil tersenyum
Sejak usia 6 bulan ibunya meninggal dunia karena sakit. Sejak saat itu Pani menjadi anak pemurung, air matanya senantiasa membasahi pipi sambil memanggil-manggil sang ibu yang telah tiada.
Selang beberapa hari, ayahnya pun pergi entah kemana. Membuat kesedihan Pani semakin bertambah. Air matanya pun tak pernah kering sambil memanggil-manggil kedua orang tuanya.
"Ayah... Ibu... Kenapa Pani ditinggal sendiri. Kalau aku nakal maafin aku, aku janji nggak nakal lagi." ~ucap Pani sambil bersandar di kursi yang telah usang dan meneteskan air mata
Sejak saat itu, Pani dirawat oleh saudaranya. Namun karena ekonomi saudaranya pun kekurangan, sering mengalami kesulitan untuk memenuhi biaya sekolah. Jangankan untuk memenuhi kebutuhan sekolah, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja pas-pasan.
Melihat hal ini Pani terus berjuang agar bisa terus sekolah dengan berjualan es. Mondar-mandir ke setiap kampung menawarkan es dagangannya. Dengan harapan bisa terus sekolah dan menjadi dokter.
Penghasilannya tak menentu, kadang hanya 5 ribu - 20 ribu perhari. Tapi berapa pun Pani tetap bersyukur. Setidaknya ada sedikit pemasukan untuk membantu mencukupi kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah.
Kisah Pani hanyalah satu dari banyak sosok anak yatim dhuafa yang mengalami kesulitan untuk bersekolah. Masih ada anak yatim dan dhuafa lainnya yang juga bernasib sama seperti Pani.
Sahabat kebaikan, diluar sana masih banyak anak-anak yatim dan dhuafa yang sedang berjuang keras untuk mewujudkan cita-citanya. Tak mungkin jika mereka harus harus berjuang sendiri, untuk itu mari kita kirimkan bantuan untuk meringankan beban mereka.
Pencairan Donasi
Rp. 4.750.000
dari target Rp 50.000.000
"Saya harus cari uang, biar tetap bisa sekolah terus." ~ucap Pani sambil tersenyum
Sejak usia 6 bulan ibunya meninggal dunia karena sakit. Sejak saat itu Pani menjadi anak pemurung, air matanya senantiasa membasahi pipi sambil memanggil-manggil sang ibu yang telah tiada.
Selang beberapa hari, ayahnya pun pergi entah kemana. Membuat kesedihan Pani semakin bertambah. Air matanya pun tak pernah kering sambil memanggil-manggil kedua orang tuanya.
"Ayah... Ibu... Kenapa Pani ditinggal sendiri. Kalau aku nakal maafin aku, aku janji nggak nakal lagi." ~ucap Pani sambil bersandar di kursi yang telah usang dan meneteskan air mata
Sejak saat itu, Pani dirawat oleh saudaranya. Namun karena ekonomi saudaranya pun kekurangan, sering mengalami kesulitan untuk memenuhi biaya sekolah. Jangankan untuk memenuhi kebutuhan sekolah, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja pas-pasan.
Melihat hal ini Pani terus berjuang agar bisa terus sekolah dengan berjualan es. Mondar-mandir ke setiap kampung menawarkan es dagangannya. Dengan harapan bisa terus sekolah dan menjadi dokter.
Penghasilannya tak menentu, kadang hanya 5 ribu - 20 ribu perhari. Tapi berapa pun Pani tetap bersyukur. Setidaknya ada sedikit pemasukan untuk membantu mencukupi kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah.
Kisah Pani hanyalah satu dari banyak sosok anak yatim dhuafa yang mengalami kesulitan untuk bersekolah. Masih ada anak yatim dan dhuafa lainnya yang juga bernasib sama seperti Pani.
Sahabat kebaikan, diluar sana masih banyak anak-anak yatim dan dhuafa yang sedang berjuang keras untuk mewujudkan cita-citanya. Tak mungkin jika mereka harus harus berjuang sendiri, untuk itu mari kita kirimkan bantuan untuk meringankan beban mereka.
Jumlah yang telah dicairkan : Rp. 4.750.000
Pencairan Donasi
Rp. 4.750.000
Bagikan tautan ke media sosial