Di pelosok yang terlupakan, ada sepotong kenangan hidup yang terperangkap dalam gubuk sederhana yang mirip kandang hewan. Kakek Chariadi, atau Kakek Adi, melihat usianya mencapai 83 tahun dengan sendirinya. Hidupnya menjadi panggung kesepian setelah ditinggal pergi oleh istri tercintanya dan diabaikan oleh anak yang seharusnya menjadi tonggak kebahagiaannya.
"Sesepi ini rasanya, nak. Terima kasih atas kunjunganmu ke gubuk ini, meski sederhana dan tak seindah rumah orang lain," bisiknya, dengan mata yang penuh rasa kehilangan. Gubuk ini, tempatnya mencari perlindungan dari terik matahari dan guyuran hujan, seolah menjadi penjara tak berwujud yang merenggutnya dari dunia luar.
Ketika cahaya remang-remang mengisi gubuk, Kakek Adi menceritakan betapa takutnya dia kehilangan tempat ini. "Rumah ini punya warga baik, tapi suatu hari mungkin akan diambilnya kembali. Keberadaanku dianggap kumuh, hina oleh banyak orang," gumamnya, wajahnya mencerminkan pilu dan keputusasaan.
Bertahan hidup dari singkong yang tumbuh di tanah sekitar gubuknya, Kakek Adi menjelaskan bahwa itu bukan untuk dijual, melainkan untuk mengisi perut yang kian hari semakin kosong. Membeli beras adalah keberluxury-annya yang tidak mampu dia raih.
Ubi yang tumbuh sering kali menjadi saksi bisu kelaparan. Terkadang ubi itu dimakan oleh binatang hutan atau membusuk. Kakek Adi memaksa dirinya untuk tetap hidup dengan mengisi perutnya yang kosong dengan air. Hasil menyakitkan dari mencoba bekerja di ladang orang lain tanpa upah juga menghantui setiap pandangannya.
Mari kita bergandengan tangan dalam cerita yang pilu ini. Dengan satu klik pada tombol "DONASI SEKARANG," kita bisa membawa kelegaan ke dalam gubuk kenangan Kakek Adi. Bersama-sama, kita bisa memberikan sedikit harap dalam ketenangan yang mendalam. Jangan biarkan Kakek Adi terbenam dalam kesepian yang tak berujung. Mari bersama membawa sinar cahaya ke dalam gubuknya yang gelap.
dari target Rp 20.000.000
Di pelosok yang terlupakan, ada sepotong kenangan hidup yang terperangkap dalam gubuk sederhana yang mirip kandang hewan. Kakek Chariadi, atau Kakek Adi, melihat usianya mencapai 83 tahun dengan sendirinya. Hidupnya menjadi panggung kesepian setelah ditinggal pergi oleh istri tercintanya dan diabaikan oleh anak yang seharusnya menjadi tonggak kebahagiaannya.
"Sesepi ini rasanya, nak. Terima kasih atas kunjunganmu ke gubuk ini, meski sederhana dan tak seindah rumah orang lain," bisiknya, dengan mata yang penuh rasa kehilangan. Gubuk ini, tempatnya mencari perlindungan dari terik matahari dan guyuran hujan, seolah menjadi penjara tak berwujud yang merenggutnya dari dunia luar.
Ketika cahaya remang-remang mengisi gubuk, Kakek Adi menceritakan betapa takutnya dia kehilangan tempat ini. "Rumah ini punya warga baik, tapi suatu hari mungkin akan diambilnya kembali. Keberadaanku dianggap kumuh, hina oleh banyak orang," gumamnya, wajahnya mencerminkan pilu dan keputusasaan.
Bertahan hidup dari singkong yang tumbuh di tanah sekitar gubuknya, Kakek Adi menjelaskan bahwa itu bukan untuk dijual, melainkan untuk mengisi perut yang kian hari semakin kosong. Membeli beras adalah keberluxury-annya yang tidak mampu dia raih.
Ubi yang tumbuh sering kali menjadi saksi bisu kelaparan. Terkadang ubi itu dimakan oleh binatang hutan atau membusuk. Kakek Adi memaksa dirinya untuk tetap hidup dengan mengisi perutnya yang kosong dengan air. Hasil menyakitkan dari mencoba bekerja di ladang orang lain tanpa upah juga menghantui setiap pandangannya.
Mari kita bergandengan tangan dalam cerita yang pilu ini. Dengan satu klik pada tombol "DONASI SEKARANG," kita bisa membawa kelegaan ke dalam gubuk kenangan Kakek Adi. Bersama-sama, kita bisa memberikan sedikit harap dalam ketenangan yang mendalam. Jangan biarkan Kakek Adi terbenam dalam kesepian yang tak berujung. Mari bersama membawa sinar cahaya ke dalam gubuknya yang gelap.
Bagikan tautan ke media sosial