Gadis kecil yang malang, Septi Namanya. Seorang gadis piatu yang ditinggalkan ibunya karena meninggal dunia. Kini harus hidup berdua dengan bapaknya yang sakit-sakitan. Septi merupakan anak terakhir dari 3 bersaudara. Kakak pertamanya sudah berkeluarga, dan kakak yang kedua baru saja melangkahkan kaki di bangku perkuliahan.
Bapaknya bekerja di sebagai peternak buruh di kandang ayam Banten. Namun ketika baru beberapa hari bekerja bapaknya dikabarkan dengan kabar yang sangat menyayat hati. Betapa tidak, sang ibu yang sedang sakit di rumah ternyata sudah meninggal dunia. Dengan pontang-panting, bapaknya bergegas untuk pulang. Namun karena perjalanan yang lumayan jauh, bapaknya tidak menyaksikan jasad ibunya yang dikebumikan.
Sudah jatuh tertimpa tangga. Baru saja bapaknya mengusahakan untuk membiayai kakak kedua Septi untuk kuliah di perguruan tinggi swasta kemudian disusul ibunya meninggal dunia. Dengan terpaksa bapaknya harus menemani Septi di rumah. Tidak hanya itu, beberapa hari setelah meninggalnya ibunya, bapaknya jatuh sakit sehingga tidak bisa bekerja. Hanya mengandalkan suruhan dari tetangga untuk membersihkan kebun. Hasilnya pun tak seberapa, hanya Rp. 30.000. Belum lagi untuk kebutuhan sehari-hari, saku untuk Septi dan kakaknya, dan pembayaran sekolah yang semakin menumpuk.
Seringkali ke sekolah, Septi jarang sarapan tiap paginya. Hanya meneguk segelas air putih untuk mengganjal perut. Tubuhnya yang kurus dan kecil terlihat sekali kalau dia sering menahan lapar. Apalagi ada benjolan di punggungnya yang kian membesar. Benjolan itu sudah sekitar 5 tahun. Karena semakin membesar akhirnya mempengaruhi tumbuh kembang Septi. Jalannya pun agak berbeda semenjak benjolan di punggungnya kian membesar. Dengan penuh kasih sayang, bapaknya mengantar dan menjemput Septi sekolah dengan jarak yang lumayan dari rumah. Selain itu, jalannya juga sepi dan cukup terjal.
Hinaan dan cacian sudah tidak asing lagi untuk Septi. Sempat menangis karena malu, namun seiring berjalannya waktu Septi lebih memilih focus untuk belajar dan menggapai cita-cita mulianya yaitu menjadi seorang guru.
Setiap pulang sekolah Septi selalu membantu bapaknya untuk beres-beres di rumah. Gadis yang rajin dan ulet ini juga tidak melupakan kewajibannya untuk terus belajar. Meskipun terlihat pendiam namun Septi sangat aktif di sekolah.
Jika yang lain tidur dengan pulas beralaskan Kasur yang empuk dan nyaman sungguh berbeda dengan Septi. Sepeninggal ibunya, Septi dan bapaknya hanya tidur di kursi sofa yang sudah lapuk. Kamarnya sudah tidak terpakai lagi karena penuh dengan perabot yang dipindahkan bapaknya dari dapur yang roboh beberapa hari lalu. Malam-malam bapaknya memindahkan sambil kehujanan.
Yuk bantu Septi untuk menggapai impiannya dengan penuhi kebutuhan sekolahnya!
dari target Rp 70.000.000
Gadis kecil yang malang, Septi Namanya. Seorang gadis piatu yang ditinggalkan ibunya karena meninggal dunia. Kini harus hidup berdua dengan bapaknya yang sakit-sakitan. Septi merupakan anak terakhir dari 3 bersaudara. Kakak pertamanya sudah berkeluarga, dan kakak yang kedua baru saja melangkahkan kaki di bangku perkuliahan.
Bapaknya bekerja di sebagai peternak buruh di kandang ayam Banten. Namun ketika baru beberapa hari bekerja bapaknya dikabarkan dengan kabar yang sangat menyayat hati. Betapa tidak, sang ibu yang sedang sakit di rumah ternyata sudah meninggal dunia. Dengan pontang-panting, bapaknya bergegas untuk pulang. Namun karena perjalanan yang lumayan jauh, bapaknya tidak menyaksikan jasad ibunya yang dikebumikan.
Sudah jatuh tertimpa tangga. Baru saja bapaknya mengusahakan untuk membiayai kakak kedua Septi untuk kuliah di perguruan tinggi swasta kemudian disusul ibunya meninggal dunia. Dengan terpaksa bapaknya harus menemani Septi di rumah. Tidak hanya itu, beberapa hari setelah meninggalnya ibunya, bapaknya jatuh sakit sehingga tidak bisa bekerja. Hanya mengandalkan suruhan dari tetangga untuk membersihkan kebun. Hasilnya pun tak seberapa, hanya Rp. 30.000. Belum lagi untuk kebutuhan sehari-hari, saku untuk Septi dan kakaknya, dan pembayaran sekolah yang semakin menumpuk.
Seringkali ke sekolah, Septi jarang sarapan tiap paginya. Hanya meneguk segelas air putih untuk mengganjal perut. Tubuhnya yang kurus dan kecil terlihat sekali kalau dia sering menahan lapar. Apalagi ada benjolan di punggungnya yang kian membesar. Benjolan itu sudah sekitar 5 tahun. Karena semakin membesar akhirnya mempengaruhi tumbuh kembang Septi. Jalannya pun agak berbeda semenjak benjolan di punggungnya kian membesar. Dengan penuh kasih sayang, bapaknya mengantar dan menjemput Septi sekolah dengan jarak yang lumayan dari rumah. Selain itu, jalannya juga sepi dan cukup terjal.
Hinaan dan cacian sudah tidak asing lagi untuk Septi. Sempat menangis karena malu, namun seiring berjalannya waktu Septi lebih memilih focus untuk belajar dan menggapai cita-cita mulianya yaitu menjadi seorang guru.
Setiap pulang sekolah Septi selalu membantu bapaknya untuk beres-beres di rumah. Gadis yang rajin dan ulet ini juga tidak melupakan kewajibannya untuk terus belajar. Meskipun terlihat pendiam namun Septi sangat aktif di sekolah.
Jika yang lain tidur dengan pulas beralaskan Kasur yang empuk dan nyaman sungguh berbeda dengan Septi. Sepeninggal ibunya, Septi dan bapaknya hanya tidur di kursi sofa yang sudah lapuk. Kamarnya sudah tidak terpakai lagi karena penuh dengan perabot yang dipindahkan bapaknya dari dapur yang roboh beberapa hari lalu. Malam-malam bapaknya memindahkan sambil kehujanan.
Yuk bantu Septi untuk menggapai impiannya dengan penuhi kebutuhan sekolahnya!
Bagikan tautan ke media sosial